Beberapa minggu yang lalu, teman-teman saya mengirimkan beberapa buah screenshoot via whatsapp maupun dm instagram yang berisi tentang program yang dicanangkan salah satu pejabat daerah di Kabupaten Bandung yang berembel-embel "Sekolah Ibu".
"Menurut maneh kumaha dit?"
Pertanyaan serupa yang dilontarkan teman-teman kepada saya. Saat itu saya ingat sekali sedang makan seblak level 8 (orang Bandung pasti tahu dan suka!) dan membaca semua screenshoot itu sampai membuat seblak yang saya makan seakan level 100! Bagaimana tidak? Lah wong programe ngono!
Tenang-tenang saya tidak mau mengkritik program yang dibuat susah payah para pemilik hajat, bukan kapasitas saya untuk jadi sok juri ala-ala acara pencarian bakat. Saya hanya ingin menstabilokan beberapa statement yang sebenarnya arahnya 'kesono' hanya redaksinya dibuat lebih geulis dan menggelitik.
Kira-kira siklus yang saya tangkap seperti ini:
Banyak perceraian - menjadi masalah serius bersama - istri perlu diberikan pemamahaman (katanya)- muncul program Sekolah Ibu - Tujuan: memberikan pemahaman tentang bagaimana berumah tangga, menghadapi suami, menahan emosi (loh?), berkomunikasi dengan anak-anak yang beranjak dewasa, dll.
Ah, sayang sekali, saya yakin program ini untuk kebaikan masyarakat, sekali lagi untuk kebaikan masyarakat. Hanya saja dikemas oleh budaya patriarki dengan ruh androsentrisme dan berdarah misoginis. Rupanya perlu menggamblangkan gender untuk para pemangku kekuasaan di negeri ini.
Maaf pak, saya tidak sepakat penyebab rusaknya rumah tangga adalah pihak istri. Benar-benar tidak. Mari kita telaah.
Menurut catatan tahun 2017 Komnas Perempuan, tercatat 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan kekerasan terjadi paling banyak di ranah domestik dengan laporan yang diterima Komnas Perempuan adalah kekerasan terhadap istri dapat peringkat pertama yakni 5.167 kasus, diikuti kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 2.227 kasus. Saya garis bawahi, kekerasan terhadap istri. Lalu kenapa harus menyekolahkan istri kalau realitanya justru istri lah yang menjadi korban kekerasan? Ini seakan-akan melanggengkan bahwa memang benar sumber perceraian rumah tangga berasal dari pihak perempuan atau yang lebih bekennya "suami gaakan ngelakuin kekerasan kalau istrinya ga mulai gara-gara". Inilah realitanya saudara-saudara. Inilah sekarang yang telah terjadi. Patriarki menghasilkan bibit-bibit penguatnya. Sampai sekarang umur saya hampir 20 tahun, saya belum menemukan hal-hal dalam kehidupan saya yang benar-benar memberikan keadilan terhadap wanita. Serius, belum. (kapan ya kira-kira?)
Saya ambil contoh, UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pun belum menjadi tameng yang kuat. Bagaimana tidak? Beberapa bulan yang lalu, saya berbincang hangat dengan salah satu ibu yang berkesempatan ada di Komnas Perempuan dan menceritakan kasus yang terjadi di daerah di Bandung. Beliau bercerita betapa mirisnya kasus ini, dimana istrinya menjadi korban KDRT dan melapor menggunakan Pasal 7, suami malah balik melaporkan dengan Pasal 9 (teman-teman bisa cek UU No 23 Tahun 2004 ya!). Undang-undang yang ada sebatas pasal karet. Aparat penegak hukum, malah hobi victim blaming. Inilah kenapa banyak sekali korban yang tidak berani melapor, karena merasa terancam dengan pertanyaan jahat seperti "kamu menikmatinya juga kan?" "salah kamu mengenakan pakaian minim!" "salah kamu pulang malam-malam!" dan berbagai 'salah kamu' lainnya. Ini menjadi contoh bahwa produk patriarki bahkan dilanggengkan oleh sistem dan komponennya sekalipun. Saya yakin, masih banyak wakil rakyat yang berpola seksis dan tidak responsif gender. Saya yakin, Rape Culture masih mengalir di sendi kehidupan.
Jadi sekarang gimana?
Manajemen emosi, bagaimana berelasi kuasa dalam rumah tangga, bagaimana mempertahankan rumah tangga, dan segala abcd kurikulum "Sekolah Ibu" bukan hanya untuk istri. Tapi kurikulum yang wajib dienyam oleh Suami dan Istri, dan bukan di program "Sekolah Ibu" tapi dalam kehidupan kita setiap detiknya. Saya rasa tidak perlu ada sekolah-sekolah apalah itu jika kehidupan rumah tangga diderasi dengan pemahaman kesetaraan dan keadilan gender yang baik. Kesetaraan ini bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus sama, tetapi hak, tanggung jawab, dan peluang mereka tidak tergantung pada apakah mereka terlahir sebagai perempuan atau laki-laki. Keadilan ini berarti perlakuan adil untuk perempuan dan laki-laki sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Ini mungkin termasuk perlakuan yang sama atau yang berbeda tetapi dianggap setara dalam hak, manfaat, kewajiban dan peluang. (UNESDOC)
Tidak perlu ada sekolah-sekolah pak! Saya saja bawaannya ingin cepat-cepat lulus. Capek nanti ada PR, ujian, remedial, praktik, dan bayar uang SPP (plus uang buat jajan di kantin, beli kuota, fotocopy makalah, nongkrong di warung). Lebih baik kita bersama-sama meruntuhkan tembok patriarki hari ini, betul?
Komentar
Posting Komentar