Langsung ke konten utama

ukate

"Kekuasaan adalah suatu kemungkinan yang membuat seorang aktor dalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan" - Max Weber

Berbagai gaungan dilontarkan oleh yang katanya pemangku-pemangku kebijakan untuk mewujudkan 'welfarestate'. Meskipun 'si welfarestate' ini benar-benar dijadikan suatu sistem oleh negara-negara nordik, namun negara kesejahteraan adalah tujuan semua bangsa yang secara otomatis negara sebagai pemegang kendali untuk menyejaterahkan rakyatnya.

Katanya sih katanya, kampus adalah miniatur suatu sistem negara di mana ada rektor sebagai kepala negara dan warga kampus sebagai rakyatnya. Untuk membuat kebijakan sistemnya, tidak semudah mengcopy-paste makalah yang harus dikumpulkan h-1 jam (pengalaman universal mahasiswa, saya yakin kalian pernah menjadi pelakunya~). Merumuskan itu semua sangat menguras pikiran, tenaga, emosi, waktu, dan finansial yang tidak sedikit, di mana diharapkan kebijakan itu setidaknya menjawab 3/4 kebutuhan masyarakat dan menyelesaikan misi menyejaterahkan itu sendiri. Perlu ada kajian baik secara teoritis, empiris, yuridis, filosofis, baik dilakukan oleh para pakar dibidangnya, pejabat berwenang dan siapa siapa itu yang mempunyai wewenang yang dilindungi negara, serta memproyeksikan kebijakannya di masa mendatang.

Sayang seribu sayang, terkadang orang-orang yang diberi kepercayaan untuk menahkodai suatu sistem malah berbalik arah menjadi pengkhianat. Kampus yang katanya institusi pendidikan dengan sistem bak negara ini diisi oleh oknum yang sudah terlalu jauh melewati batas.

Ini pandemi, seluruh dunia sedang berduka. Tidak ada yang ingin kesulitan. Semua orang berlomba untuk mencukupi kebutuhan sekunder yang masih sulit. Sandang pangan papan masih menjadi PR yang tidak bisa selesai dengan hanya dimimpikan saja. Saya yakin oknum-oknum pemegang kebijakan kampus, tau hal itu. Setidaknya mengalami atau kalau masih bisa hidup nyaman sentosa, paling tidak tahu dari internet, TV, radio, maupun media massa lain (Saya yakin era digitalisasi seperti ini bapak ibu tidak mungkin kekurangan informasi, kan?).

Bapak ibu yang terhormat, apa yang telah kalian berikan kepada kami yang sudah memenuhi kewajiban, sungguh mencederai sanubari sesama manusia. UKT bukan hanya sekedar angka atau alat legalisasi supaya bergelar mahasiswa. Lebih dari itu, ada keringat dan air mata dari perjuangan seseorang untuk mendapatkan nominal itu. Sungguh tidak masuk akal menjadikan UKT sebagai syarat mutlak untuk mengenyam pendidikan di kondisi sekarang. Membuat dan menerapkan kebijakan pasti memerlukan effort luar biasa, jadi kalau kebijakannya sebercanda ini kalian sedang tidak main-main dengan tanggung jawab bukan?

Kewajiban juga diiringi oleh opsi. Kalau tidak bisa puasa karena halangan yang ditentukan atau kondisi, kita bisa menggatikannya dengan hari lain atau membayar fidyah sesuai ketentuan. Bila tidak ada air untuk berwudhu, kita bisa tayamum. Bila tidak bisa bangkit dengan tegak untuk shalat, kita bisa duduk bahkan berbaring. Bukannya itu yang diajarkan oleh agama dan dipakai untuk embel-embel kampus? Lalu kalau kesulitan untuk membayar UKT karena situasi dan kondisi yang tidak diinginkan seperti ini, apa mau tetap diam membisu saja tidak memberi opsi yang solutif?

Tuan dan puan yang terhomat memiliki relasi kuasa dengan kami, posisinya lebih superior di mana ada koridor-koridor yang tidak bisa terjangkau sehingga secara alamiah ada rasa percaya dan kepastian dari kami. Saya rasa, untuk membuat dan menerapkan kebijakan yang lebih sensitif lagi dengan realita sekarang, tidak (pernah) salah deh? Jika dirasa "kampus juga tertekan oleh sistem!", setidaknya kalian masih memiliki privilege untuk meringankan beban kami. Saya yakin masih ada kewarasan dan kemanusiaan meskipun seseorang telah melakukan seribu kejatahan. Kekuasaan itu memang anugerah, tapi bisa menjadi bumerang. Benar-benar untuk keinginan umum, salah-salah ya keinginan sendiri.

Kalau kata Socrates sih demokrasi tidak akan terbentuk kalau rakyatnya masih bodoh. Karena kampus adalah salah satu medan mencerdaskan dan membentuk karakter penerus dan pelurus bangsa, jadi kalau mahasiswa memakai haknya untuk berpikir dan bersuara melihat ini, sangat sangat wajar, benar begitu?

Saya harap tuan puan semua akal budinya belum mati.
Salam.
10.36

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CUKA

Lukanya masih basah, kau siram cuka pula. Tidak puas, masih kau siram air garam. Katanya supaya pulih Tapi masih kau tusuk jarum-jarum itu. Lukanya semakin menganga, kau masih disini. Puas melihat aku yang merangkak karena jatuh terlalu dalam? Masih tertatih aku jadinya. Iya, ada lembah yang kau ciptakan khusus untukku. Untuk aku, orang yang percaya dengan cinta. Jadi salah siapa? Salah percaya, dengan, atau cinta? Ah sudahlah, sudah berbuih aku mengutuk cinta. Lebih baik aku hardik dengan saja.

Nang Malang

Malang melampaui Juni. Ia bertanya, "sedang mencari apa kau disini?" "hai kau sang penulis sajak!" biar kuberi tahu, Aku hanya berjengkal dan sepandang, mengaburkan lara yang bersarang dan bersemayam hirau terlarang, menjamu yang semu sampai jemu dan leburnya bertambah lemu , Ah, lupa! kuberi tahu lagi, Aku tak kuasa mengebiri bendung kecewamu, Aku payah dalam mencabik roman ironimu. jangan kau tumpah ruahkan Aku dengan amarahmu! karena Aku bukan sebab anak gembala itu pergi jauh dari ladang hatimu. Ucapan Malang mengoyak batin sang penulis sajak. tampak sang penulis sajak termenung dengan dirinya yang terkurung, menafsirkan Gunung Bromo segagah Ken Arok dengan pria rupawan di gereja tua berdinding lapuk yang berjuluk Romo , mengelabui Coban Supit Urang yang ditelisik dengan hidangan menggugah buatan Tacik , dan mengulur Pantai Tiga Warna supaya picisannya segera sirna. namun racaunya terhenti di jalan buntu Sumber Pitu Tumpang. "apa ya