Langsung ke konten utama

rumah (sakit)

tempat yang paling aku benci.

bukan, bukan karena banyak pendahuluku yang meninggalkan jasadnya
(setiap yang hidup akan terbujur kaku dengan gelar baru bernama "mayat", tunggulah giliranmu!),
bukan karena disana sumber ide film-film baru dibioskop kesayangan pasangan dimabuk asmara
(suster ngesot, dokter ngesot, apoteker ngesot, apalah apalah itu, aku tak takut!),
bukan juga karena darah-darah kesukaan vampir (katanya) atau ruang operasi (antara hidup dan mati).

aku benci rumah (sakit), dia tempat paling tak berperasaan di dunia.
dia tempat paling tak manusiawi.
tangis, tawa, bahagia, haru, marah, dan berbagai perasaan ala manusia lainnya ada di satu tempat yang sama.

di hari yang sama,
ada seorang ibu yang menangis karena ada malaikat kecilnya yang terlahir melihat dunia, dan seorang anak yang menangis karena malaikat berdada bidangnya yang tak bisa lagi melihat dunia.
di hari yang sama,
ada seorang wanita yang diberi kutukan "tak bisa punya anak" dan seorang wanita yang mendapat mukjizat "selamat anda sedang hamil".

di ruang yang sama dengan takdir yang berbeda.

yang satu kehilangan bola matanya,
yang satu kedatangan bola mata baru.
yang satu harus betah disana karena butuh selang, cairan infus, suntikan disana-sini, yang satu menginjak udara bebas dan bisa merasakan kehangatan cengkraman rumah.

Ah, tak sanggup aku deraikan lagi lumbung perasaan di rumah (sakit) ini.
harapan palsu meluruh dimana-mana.

tidak senang pun aku dengan malaikat hitam di rumah (sakit).
perawat.
ia sanggup memberitakan duka dalam raut dan sanubari setenang air danau.
ia sanggup menguatkan orang yang tengah terisak-isak kehilangan tanpa ada embun air mata satupun terlukis dipipinya.

ah, apakah hatinya sudah mati? atau mau mati?



ma, aku ingin pulang.
aku tidak betah disini, tidak ada cinta.
ini seperti dunia yang aku benci.
terlalu kejam.

benar ya, ini rumah penuh ke(sakit)an?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CUKA

Lukanya masih basah, kau siram cuka pula. Tidak puas, masih kau siram air garam. Katanya supaya pulih Tapi masih kau tusuk jarum-jarum itu. Lukanya semakin menganga, kau masih disini. Puas melihat aku yang merangkak karena jatuh terlalu dalam? Masih tertatih aku jadinya. Iya, ada lembah yang kau ciptakan khusus untukku. Untuk aku, orang yang percaya dengan cinta. Jadi salah siapa? Salah percaya, dengan, atau cinta? Ah sudahlah, sudah berbuih aku mengutuk cinta. Lebih baik aku hardik dengan saja.

ukate

"Kekuasaan adalah suatu kemungkinan yang membuat seorang aktor dalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan" - Max Weber Berbagai gaungan dilontarkan oleh yang katanya pemangku-pemangku kebijakan untuk mewujudkan 'welfarestate'. Meskipun 'si welfarestate' ini benar-benar dijadikan suatu sistem oleh negara-negara nordik, namun negara kesejahteraan adalah tujuan semua bangsa yang secara otomatis negara sebagai pemegang kendali untuk menyejaterahkan rakyatnya. Katanya sih katanya, kampus adalah miniatur suatu sistem negara di mana ada rektor sebagai kepala negara dan warga kampus sebagai rakyatnya. Untuk membuat kebijakan sistemnya, tidak semudah mengcopy-paste makalah yang harus dikumpulkan h-1 jam (pengalaman universal mahasiswa, saya yakin kalian pernah menjadi pelakunya~). Merumuskan itu semua sangat menguras pikiran, tenaga, emosi, waktu, dan finansial yang tidak sedikit, d

BEBAS

Aku ingin bebas, membuana ke antah berantah bukan berderai air mata karena mengiris bawang merah Aku ingin bebas, memotong lidah arogansi pria berpola seksis bukan terpaksa menarik sudut bibir untuk tersenyum manis Aku ingin bebas, memikat mimpi penuh khayal bukan ketakutan dicambuk pria berdasi penuh amukan Aku ingin bebas, merajut suka menapak irama senandung budaya patriarki tanah Jawa bukan meladeni pria berselir tak berwibawa Aku ingin bebas, menghirup aroma lavender Provence dan membawanya pulang bukan menghirup arak yang berkecamuk dari pria hidung belang Bebas, bebas, bebas Kapan aku bebas dari jeruji bertirani ini? Menelisik bimbang penuh amarah, dan sekali lagi berteriak sampai serak ‘KAPAN AKU BEBAS?’ Hanya kebebasan merindukan bulan yang tak terbelenggu ini itu yang aku harap Tanpa mengemis dan mengais demi kebebasan yang aku tunggu di pusara akhir hayatku