Langsung ke konten utama

[Tolong, aku geram!]

Suka sedikit kesal nih sama orang yang masih berpikiran kolot,
"Apaan ilmu hukum mah gampang cuma ngapalin doang! Susahan jurusan aku banyak ngitungnya"
atau
"Susahan pelajaran ilmu alam yang pasti daripada sosial!"

Kalau kamu masih berpikiran seperti ini hmm, mungkin uang orang tua yang kamu pakai buat mengenyam bangku pendidikanmu sia-sia.

Kata siapa ilmu hukum mudah? Lah wong setiap sisi kehidupan kita diatur oleh hukum kok. Kamu tau tidak betapa rumitnya proses seseorang sampai bisa dipenjara? Atau menyelesaikan sengketa tanah? Betapa sulitnya seorang Hakim menjatuhkan putusan? Betapa sulitnya memahami KUHPidana, KUHPerdata, dengan bab dan pasalnya yang sangat runtut, dan harus tekstual karena beda kata beda maknanya? Kamu tau tidak kami juga mempelajari anatomi tubuh manusia sebagai bagian dari hukum? Kami juga menghitung kok! Ada Hukum Waris, Hukum Perbankan, Hukum Pajak, dst.
"Ah tapi masih susahan hitungan aku!" Padahal, kalau kamu sadar, kami sangat berhati-hati dalam pembagian warisan. Karena jika salah, bukan hanya ahli waris yang dirugikan, tapi kami juga dapat dosa.

Jangan sampai kamu menilai Ilmu Komunikasi mudah karena menurutmu hanya mengandalkan kemampuan bicara. Jangan sampai kamu menilai Ilmu Sastra mudah karena menurutmu hanya berkutat dengan diksi dan majas. Jangan sampai kamu menilai Ilmu Al-Quran mudah karena kamu sudah piawai membaca Al-Quran.
Naudzubillahimindzalik, Ya Allah jauhkanlah kami dari sikap sombong yang merongrong hati manusia.

Jadi, jangan sampai kamu menilai ilmu dari subjektivitas kamu saja. Kalau kamu tidak open minded terhadap ilmu, kata saya sih kamu belum cinta terhadap ilmu. Mulai sekarang, cobalah untuk sadar terhadap ilmu. Baca dan telaah setiap sisi dari ilmu. Dengan begitu kamu akan menghargai sekelilingmu dan sadar betapa menakjubkannya ilmu yang diciptakan Allah SWT.

Sekarang, jangan pernah meremehkan ilmu lagi ya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CUKA

Lukanya masih basah, kau siram cuka pula. Tidak puas, masih kau siram air garam. Katanya supaya pulih Tapi masih kau tusuk jarum-jarum itu. Lukanya semakin menganga, kau masih disini. Puas melihat aku yang merangkak karena jatuh terlalu dalam? Masih tertatih aku jadinya. Iya, ada lembah yang kau ciptakan khusus untukku. Untuk aku, orang yang percaya dengan cinta. Jadi salah siapa? Salah percaya, dengan, atau cinta? Ah sudahlah, sudah berbuih aku mengutuk cinta. Lebih baik aku hardik dengan saja.

ukate

"Kekuasaan adalah suatu kemungkinan yang membuat seorang aktor dalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan" - Max Weber Berbagai gaungan dilontarkan oleh yang katanya pemangku-pemangku kebijakan untuk mewujudkan 'welfarestate'. Meskipun 'si welfarestate' ini benar-benar dijadikan suatu sistem oleh negara-negara nordik, namun negara kesejahteraan adalah tujuan semua bangsa yang secara otomatis negara sebagai pemegang kendali untuk menyejaterahkan rakyatnya. Katanya sih katanya, kampus adalah miniatur suatu sistem negara di mana ada rektor sebagai kepala negara dan warga kampus sebagai rakyatnya. Untuk membuat kebijakan sistemnya, tidak semudah mengcopy-paste makalah yang harus dikumpulkan h-1 jam (pengalaman universal mahasiswa, saya yakin kalian pernah menjadi pelakunya~). Merumuskan itu semua sangat menguras pikiran, tenaga, emosi, waktu, dan finansial yang tidak sedikit, d

BEBAS

Aku ingin bebas, membuana ke antah berantah bukan berderai air mata karena mengiris bawang merah Aku ingin bebas, memotong lidah arogansi pria berpola seksis bukan terpaksa menarik sudut bibir untuk tersenyum manis Aku ingin bebas, memikat mimpi penuh khayal bukan ketakutan dicambuk pria berdasi penuh amukan Aku ingin bebas, merajut suka menapak irama senandung budaya patriarki tanah Jawa bukan meladeni pria berselir tak berwibawa Aku ingin bebas, menghirup aroma lavender Provence dan membawanya pulang bukan menghirup arak yang berkecamuk dari pria hidung belang Bebas, bebas, bebas Kapan aku bebas dari jeruji bertirani ini? Menelisik bimbang penuh amarah, dan sekali lagi berteriak sampai serak ‘KAPAN AKU BEBAS?’ Hanya kebebasan merindukan bulan yang tak terbelenggu ini itu yang aku harap Tanpa mengemis dan mengais demi kebebasan yang aku tunggu di pusara akhir hayatku